Kamis, 25 November 2010

Ke-ORTOM-an

PENDAHULUAN
Ortom merupakan akronim dari Organisasi Otonom Muhammadiyah. Organisasi Otonom Muhammadiyah adalah organisasi yang didirikan oleh Muhammadiyah, dan memiliki AD/ART sendiri, dengan bidang gerakan /massa yang khusus. Di dalam gerakan Muhammadiyah terdapat beberapa organisasi otonom yang membantu Muhammadiyah dalam mencapai tujuan dan cita-citanya.
Berdirinya organisasi otonom Muhammadiyah tidak serta merta diadakan begitu saja. Ortom-ortom yang berada di bawah payung Muhammadiyah memiliki sejarah yang menarik, sehingga berdirinya sebuah ortom bukan tanpa alasan, maksud atau tujuan. Melainkan memiliki orientasi yang jelas sehingga peranan gerakannya dalam Muhammadiyah pun juga jelas. Di bawah ini akan diuraikan secara singkat organisasi otonom Muhammadiyah, yakni:

AISYIYAH
‘Aisyiyah adalah organissi otonom di lingkungan Muhammadiyah yang bergerak di kalangan wanita, dan merupakan gerakan Islam dan amar ma’ruf nahi mungkar, berakidahkan Islam dan bersumber Al-Qur’an dan Sunnah.
Tujuan didirikannya organisasi ini adalah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujudnya masyarakat utama, adil dan makmur yang diridhai Allah. Pencapaian tujuan tersebut dilakukan dengan upaya-upaya sebagai berikut :
1.    Meningkatkan harkat dan martabat kaum wanita menurut ajaran Islam.
2.    Membimbing kaum wanita kearah kesadaran beragama dan berorganisasi.
3.    Membimbing angkatan muda supaya menjadi orang Islam yang berguna bagi agama, bangsa, dan negara.
4.    Memperteguh iman, menggembirakan, dan memperkuat ibadah serta mempertinggi akhlak.
5.    Mempergiat dan menggembirakan dakwah Islam serta amr ma’rufnahi mungkar.
6.    Memajukan dan meningkatkan pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan, serta memperluas ilmu pengetahuan menurut ajaran agama Islam.
7.    Menggerakkan dan menghidupsuburkan amal tolong menolong dalam kebajikan dan ketaqwaan.
8.    Membimbing ke arah perbaikan kehidupan dan penghidupan yang sesuai dengan ajaran agama Islam.
9.    Mendirikan, memakmurkan, dan memelihara tempat-tempat ibadah dan wakaf.
10.    Menanamkan kesadaran beramal agar ajaran agama Islam berlaku dalam masyarakat.
11.    Mempergiat dan memperdalam penyelidikan ilmu agama Islam untuk mendapatkan kemurniannya.
12.    Memantapkan persaudaraan dan kesatuan bangsa dan peranserta dalam pembangunan nasional.
13.    Melakukan usaha-usaha lain yang yang sesuai dengan tujua organisasi.
Sejak mendirikan Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan sangat memperhatikan pembinaan terhadap wanita. Untuk pertama anak-anak wanita yang benar-benar mendapat pengemblengan dan dipersiapkan supaya nanti dapat dijadikan pengurus dalam wanitanya Muhammadiyah, ada enam orang, yaitu :
1.    Siti Bariyah
2.    Siti Dawimah
3.    Siti Dalalah
4.    Siti Busyro (puteri beliau sendiri)
5.    Siti Wadingah
6.    Siti Badilah Zuber
Di samping para gadis, orang-orang wanita yang sudah tuapun menjadi perhatian beliau. Karena ajaran dalam agama Islam tidak diperkenankan mengabaikan wanita. Mengingat pentingnya peranan wanita yang harus mendapatkan tempat yang layak, Nyai Dahlan bersama-sama KH Ahmad Dahlan mendirikan kelompok pengajian wanita yang anggotanya terdiri dari para gadis-gadis dan orang-orang wanita yang sudah tua.
Dalam perkembangannya kelompok pengajian wanita itu diberi nama SAPA TRESNA. Sapa Tresna ini belum berupa organisasi, tetapi hanya suatu gerakan pengajian saja. Maka untuk memberikan suatu nama yang kongkrit menjadi suatu perkumpulan, KH Mokhtar mengadakan pertemuan dengan KH Ahmad Dahlan yang juga dihadiri oleh KH Fachruddin dan Ki Bagus Hadikusumo serta pengurus Muhammadiyah lainnya di rumah Nyai Ahmad Dahlan.
Waktu memberikan nama perkumpulan itu diusulkan nama FATIMAH, tetapi nama itu tidak diterima rapat. Kemudian oleh KH Fahrodin dicetuskan nama ‘AISYIYAH. Rupa-rupanya nama inilah yang paling tepat sebagai organisasi wanita baru itu. Mengapa nama Aisyiyah itu dipandang tepat, karena diharapkan perjuangan perkumpulan itu meniru perjuangan ‘Aisyah isteri Nabi Muhammad SAW yang selalu membantu berdakwah. Setelah secara aklamasi perkumpulan itu diberi nama ‘Aisyiyah, kemudian diadakan upacara peresmian.
Upacara peresmian itu waktunya bersama-sama dengan peringatan Isro’ Mi’roj pada tanggal 27 Rajab 1335 H yang bertepatan dengan tanggal 19 Mei 1917 M yang diadakan oleh Muhammadiyah untuk yang pertama kalinya. Tempat duduk murid-murid yang wanita dan kaum ibu dipisahkan dengan kelambu berwarna merah jambu. Adapun yang bertindak sebagai pembuka kelambu pada upacara itu ialah KH Mokhtar.
Susunan pengurus ‘Aisyiyah hasil kesepakatan dalam pembentukan telah ditetapkan sebagai berikut :
Siti Bariyah    Ketua
Siti Badilah    Penulis
Siti Aminah Harowi    Bendahari
Ny. H. Abdullah    Pembantu
Ny. Fatimah Wasool    Pembantu
Siti Dalalah    Pembantu
Siti Wadingah    Pembantu
Siti Dawimah    Pembantu
Siti Busyro    Pembantu
Selanjutnya KH Mokhtar memberi bimbingan administrasi dan organisasi, sedang untuk bimbingan jiwa keagamaannya dibimbing langsung oleh KH Ahmad Dahlan. Setelah pengurus ‘Aisyiyah secara resmi terbentuk. KH Ahmad Dahlan memberikan bekal perjuangan sebagai berikut:
a.    Dengan keiklasan hati menunaikan tugasnya sebagai wanita Islam sesuai dengan bakat dan kecakapannya, tidak menghendaki sanjung puji dan tidak mundur selangkah karena dicela.
b.    Penuh keinsyafan bahwa beramal itu harus berilmu
c.    Jangan mengadakan alasan yang tidak dianggap sah oleh Tuhan Allah hanya untuk menghindari suatu tugas yang diserahkan
d.    Membulatkan tekad untuk membela kesucian agama Islam
e.    Menjaga persaudaraan dan kesatuan kawan sekerja dan seperjuangan
PANDU HIZBUL WATHAN
Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan adalah organisasi otonom Muhammadiyah, yang mengkhususkan pendidikan anak, remaja dan pemuda menjadi warga masyarakat yang mandiiri dan berakhlak mulia, dengan metode kepanduan yang Islami. Kepanduan Hizbul Wathan adalah sistem pendidikan anak, remaja dan pemuda, di luar lingkungan keluarga dan sekolah, dalam membentuk warga masyarakat islami yang berguna dan berakhlak mulia, dengan metode kepanduan.
Sekitar tahun 1918 KH. Ahmad Dahlan pergi bertabligh ke Solo. Ketika beliau lewat di muka istana Mangkunegaran Solo, Beliau sempat melihat para Pemuda pemudi remaja berbaris dengan tertib dan rapi. Pakaian mereka seragam bertopi dan dilehernya melihat saputangan yang seragam pula.Mereka kelihatan gagah dan selalu gembira riang.
Sesampainya di Yogyakarta, Kyai menceritakan apa yang baru saja dilihatnya di Solo kepada para murid-muridnya. Seorang menteri Guru Bapak Romodirdjo yang ikut KH. Ahmad Dahlan menjelaskan bahwa para pemuda itu ialah Pedvinder Mangkunegaran. Pedvinder adalah Organisasi anak anak yang mengikuti gerakan kepanduan. Mereka dilatih baris berbaris seperti militer, dilatih hidup sederhana, diberi pendidikan budipekerti dan diberi bimbingan untuk suka memberi pertolongan kepada orang lain.
Dengan cepat K.H.Ahmad Dahlan menjawab. Kalau begitu anak anak kita (Muhammadiyah) perlu diberi pendidikan semacam itu. Sikap Kyai yang senang terhadap cara baru itu mendapat sambutan para murid-muridnya dengan penuh semangat. Salah satu murid K.H. Ahmad Dahlan yaitu Sarbini seorang guru SD. Muhammadiyah kebetulan pernah menjadi serdadu Belanda, dia mahir baris berbaris, mahir meniup terompet dan memukul tambur (genderang) serta pandai pula menggunakan senjata api. maka oleh Kyai, Pemuda Sarbini ditunjuk untuk melatih para Pemuda-pemuda Muhammadiyah. Sebagian Pemuda-pemudi tersebut ada yang mahir dalam mengadakan berbagai permainan dan olahraga. Maka jadilah para Pemuda Muhammadiyah terkumpul dalam satu organisasi kepanduan dengan pakaian seragam. Mereka berlatih dengan semangat dan penuh kegembiraan. Sejak saat itu berdirilah “Padvinder Muhammadiyah”, cikal bakal Kepanduan Hizbul Wathan.
Kepanduan Hizbul Wathan dibubarkan oleh pemerintahan Jepang pada tahun 1942 – 1945. Sampai pada tanggal 29 Januari 1950, Kepanduan Hizbul Wathan dibangkitkan kembali dengan beberapa penyesuaian dan perkembangan. Namun sangat disayangkan, seluruh gerakan kepanduan di Indonesia harus dilebur menjadi PRAMUKA pada tanggal 9 Maret 1961 dengan Surat Keputusan Presiden No.: 238 / 61.
Setelah tertidur lama, pada era runtuhnya orde baru tepatnya tanggal 10 Sya’ban 1420 H atau bertepatan dengan tanggal 18 November 1999 M, Kepanduan Hizbul Wathan dibangkitkan kembali oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan Surat Keputusan No : 92/SK-PP/VI-B/1.b/1999 M. Dan dipertegas dengan Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor : 10/KEP/I.O/B/2003 M.
Keanggotaan Hizbul Wathan dipisahkan dalam peserta didik, pembina dan kehormatan. Peserta didik mulai dari 8-11 th disebut Athfal, 12-16 th disebut Pengenal, 17-20 th disebut Penghela , 21-25 th disebut Penuntun. Sedangkan Pembina terdiri para pimpinan satuan, peserta didik, pelatih, instruktur, pengurus Kwartir & Qobilah. Anggota Kehormatan terdiri dari pandu wreda, donatur& simpatisan.
PEMUDA MUHAMMADIYAH
Pemuda Muhammadiyah adalah organisasi otonom Muhammadiyah yang bergerak di lingkup pemuda. Pemuda Muhammadiyah didirikan pada tanggal 26 Dzulhijjah 1350 Hijriyah bertepatan dengan 2 Mei 1932 Miladiyah dan Pimpinan Pusatnya berkedudukan di Ibu Kota Negara Repubik Indonesia. Anggota Pemuda Muhammadiyah adalah pemuda Islam, warga negara Indonesia yamg berumur 18–40 tahun & menyetujui Anggaran Dasar gerakan serta bersedia melaksanakan maksud dan tujuan gerakan. (AD Pasal 5).
Awal berdirinya Pemuda Muhammadiyah secara kronologis dapat dikaitkan denga keberadaan Siswo Proyo Priyo (SPP), suatu gerakan yang sejak awal diharapkan KH. Ahmad Dahlan dapat melakukan kegiatan pembinaan terhadap remaja/pemuda Islam. Dalam perkembangannya SPP mengalami kemajuan yang pesat, hingga pada Konggres Muhammadiyah ke-21 di Makasar pada tahun 1932 diputuskan berdirinya Muhammadiyah Bagian Pemuda, yang merupakan bagian dari organisasi dalam Muhammadiyah yang secara khusus mengasuh dan mendidik para pemuda keluarga Muhammadiyah. Keputusan Muhammadiyah tersebut mendapat sambutan luar biasa dari kalangan pemuda keluarga Muhammadiyah, sehingga dalam waktu relatif singkat Muhammadiyah Bagian Pemuda telah terbentuk di hampir semua ranting dan cabang Muhammadiyah. Dengan demikian pembinaan Pemuda Muhammadiyah menjadi tanggung jawab pimpinan Muhammadiyah di masing-masing level. Misalnya, di tingkat Pimpinan Pusat Muhammadiyah tanggung jawab mengasuh, mendidik dan membimbing Pemuda Muhammadiyah diserahkan kepada Majelis Pemuda, yaitu lembaga yang menjadi kepanjangan tangan dan pembantu Pimpinan Pusat yang memimpin gerakan pemuda.
Selanjutnya dengan persetujuan Majelis Tanwir, Muhammadiyah Bagian Pemuda dijadikan suatu ortom yang mempunyai kewenangan mengurusi rumah tangga organisasinya sendiri. Akhirnya pada 26 Dzulhijjah 1350 H bertepatan dengan 2 Mei 1932 secara resmi Pemuda Muhammadiyah berdiri sebagai ortom.
Maksud dan tujuan Pemuda Muhammadiyah ini adalah menghimpun, membina dan menggerakkan potensi pemuda Islam demi terwujudnya kader persyarikatan, kader umat dan kader bangsa dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah. (AD Pasal 3). Perjuangan Pemuda Muhammadiyah untuk mewujudkan tujuannya adalah:
1.    Mempertegas komitmen dan jatidirinya pada pemberdayaan umat di seluruh sektor kehidupan.
2.    Melakukan rekruitmen kader-kader berkualitas secara proaktif di tengah-tengah masyarakat dengan cara melibatkan pemuda pada setiap pelaksanaan program-program kerja Pemuda Muhammadiyah
3.    Meningkatkan kapasitas dan kualitas para kader melalui jenjang pendidikan kader yang terencana secara sistematis dan berkesinambungan
Dimensi perjuangan Pemuda Muhammadiyah meliputi:
a)    Dimensi Dimensi Keagamaan
b)    Dimensi Sosial
c)    Dimensi Ekonomi
d)    Dimensi Politik
e)    Dimensi Kebudayaan dan Peradaban
Dalam rangka mewujudkan maksud dan tujuannya, Pemuda Muhammadiyah mengembangkan program kegiatannya melalui usaha di bidang :
a)    Gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar.
b)    Gerakan keilmuan.
c)    Gerakan sosial-kemasyarakatan.
d)    Gerakan kewirausahaan.
NASYIATUL AISYIYAH
Nasyiatul Aisyiyah adalah organisasi otonom Muhammadiyah, merupakan gerakan putri Islam, yang bergerak di bidang keperempuanan, keagamaan, kemasyarakatan, dan pendidikan. Nasyiatul Aisyiyah didirikan di Yogyakarta pada tanggal 28 Dzulhijjah 1349 H. bertepatan dengan tanggal 16 Mei 1931 M., berkedudukan di Yogyakarta, tempat kedudukan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Tujuan Organisasi ini adalah terbentuknya putri Islam yang berarti bagi keluarga, bangsa dan agama menuju terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar benarnya. Anggota Nasyiatul Aisyiyah adalah putri Islam warga negara Indonesia yang telah berusia 17 – 40 tahun, menyetujui tujuan organisasi serta bersedia mendukung dan melaksanakan usaha organisasi.
Visi Nasyiatul Aisyiyah Visi Ideal Nasyiatul Aisyiyah, sesungguhnya adalah Tujuan Nasyiatul Aisyiyah sebagaimana tercantum dalam AD/ART, yaitu terbentuknya putri Islam yang berarti bagi keluarga, bangsa dan agama menuju terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Tujuan Nasyiatul Aisyiyah Adalah visi yang lebih operasional dari Visi diatas, hal ini sebagaimana disusun oleh Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah periode 2000 – 2004, yaitu Nasyiatul Aisyiyah sebagai gerakan putri Islam merupakan organisasi kader yang melaksanakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar, senantiasa memiliki keterikatan pada pencerahan dan pemberdayaan perempuan menuju terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Misi Nasyiatul Aisyiyah:
1.    Melaksanakan dakwah Islam amar makruf nahi munkar dalam membina putri Islam yang berarti bagi agama, bangsa dan negara menuju terwujudnya masyarakat yang sebenar-benarnya.
2.    Melaksanakan pencerahan dan pemberdayaan perempuan menuju masyarakat yang menjunjung tinggi harkat, martabat dan nilai-nilai kemanusiaan yang sesuai dengan ajaran Islam.
3.    Menyelenggarakan amal usaha dan meningkatkan peran Nasyiatul Aisyiyah sebagai pelopor, pelangsung dan penyempurna perjuangan Muhammadiyah.
IKATAN PELAJAR MUHAMMADIYAH
Ikatan Pelajar Muhammadiyah merupakan organisasi otonom Muhammadiyah yang bergerak dakwah amar ma’ruf nahi munkar di kalangan pelajar, beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Gerakan pelajar ini berdiri dan disahkan pada tanggal 5 Shafar 1318 H, bertepatan dengan 18 Juli 1961 M dalam Konferensi Pemuda Muhammadiyah di Surakarta.
Jika dilacak jauh ke belakang, sebenarnya upaya para pelajar Muhammadiyah untuk mendirikan organisasi pelajar Muhammadiyah sudah dimulai jauh sebelum Ikatan Pelajar Muhammadiyah berdiri pada tahun 1961. Pada tahun 1919 didirikan Siswo Projo yang merupakan organisasi persatuan pelajar Muham-madiyah di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Pada tahun 1926, di Malang dan Surakarta berdiri GKPM (Gabungan Keluarga Pelajar Muham-madiyah). Selanjutnya pada tahun 1933 berdiri Hizbul Wathan yang di dalamnya berkumpul pelajar-pelajar Muhammadiyah.
Setelah tahun 1947, berdirinya kantong-kantong pelajar Muhammadiyah untuk beraktivitas mulai mendapatkan resistensi dari berbagai pihak, termasuk dari Muhammadiyah sendiri. Pada tahun 1950, di Sulawesi (di daerah Wajo) didirikan Ikatan Pelajar Muhammadiyah, namun akhirnya dibubarkan oleh pimpinan Muhammadiyah setempat. Pada tahun 1954, di Yogyakarta berdiri GKPM yang berumur 2 bulan karena dibubarkan oleh Muhammadiyah. Selanjutnya pada tahun 1956 GKPM kembali didirikan di Yogyakarta, tetapi dibubarkan juga oleh Muhammadiyah (yaitu Majelis Pendidikan dan Pengajaran Muhammadiyah). Setelah GKPM dibubarkan, pada tahun 1956 didirikan Uni SMA Muhammadiyah yang kemudian merencanakan akan mengadakan musyawarah se-Jawa Tengah. Akan tetapi, upaya ini mendapat tantangan dari Muhammadiyah, bahkan para aktifisnya diancam akan dikeluarkan dari sekolah Muhammadiyah bila tetap akan meneruskan rencananya. Pada tahun 1957 juga berdiri IPSM (Ikatan Pelajar Sekolah Muhammadiyah) di Surakarta, yang juga mendapatkan resistensi dari Muhammadiyah sendiri.
Resistensi dari berbagai pihak, termasuk Muhammadiyah, terhadap upaya mendirikan wadah atau organisasi bagi pelajar Muhammadiyah sebenarnya merupakan refleksi sejarah dan politik di Indonesia yang terjadi pada awal gagasan ini digulirkan. Jika merentang sejarah yang lebih luas, berdirinya IPM tidak terlepas kaitannya dengan sebuah background politik ummat Islam secara keseluruhan. Ketika Partai Islam MASYUMI berdiri, organisasi-organisasi Islam di Indonesia merapatkan sebuah barisan dengan membuat sebuah deklarasi (yang kemudian terkenal dengan Deklarasi Panca Cita) yang berisikan tentang satu kesatuan ummat Islam, bahwa ummat Islam bersatu dalam satu partai Islam, yaitu Masyumi; satu gerakan mahasiswa Islam, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI); satu gerakan pemuda Islam, yaitu Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII); satu gerakan pelajar Islam, yaitu Pelajar Islam Indonesia (PII); dan satu Kepanduan Islam, yaitu Pandu Islam (PI). Kesepakatan bulat organisasi-organisasi Islam ini tidak dapat bertahan lama, karena pada tahun 1948 PSII keluar dari Masyumi yang kemudian diikuti oleh NU pada tahun 1952. Sedangkan Muhammadiyah tetap bertahan di dalam Masyumi sampai Masyumi membubarkan diri pada tahun 1959. Bertahannya Muhammadiyah dalam Masyumi akhirnya menjadi mainstream yang kuat bahwa deklarasi Panca Cita hendaknya ditegakkan demi kesatuan ummat Islam Indonesia. Di samping itu, resistensi dari Muhammadiyah terhadap gagasan IPM juga disebabkan adanya anggapan yang merasa cukup dengan adanya kantong-kantong angkatan muda Muhammadiyah, seperti Pemuda Muhammadiyah dan Nasyi’atul Aisyiyah, yang cukup bisa mengakomodasikan kepentingan para pelajar Muhammadiyah.
Dengan kegigihan dan kemantapan para aktifis pelajar Muhammadiyah pada waktu itu untuk membentuk organisasi kader Muhammadiyah di kalangan pelajar akhirnya mulai mendapat titik-titik terang dan mulai menunjukan keberhasilanya, yaitu ketika pada tahun 1958 Konferensi Pemuda Muhammadiyah Daerah di Garut berusaha melindungi aktifitas para pelajar Muhammadiyah di bawah pengawasan Pemuda Muham-madiyah. Mulai saat itulah upaya pendirian organisasi pelajar Muhammdiyah dilakukan dengan serius, intensif, dan sistematis. Pembicaraan-pembicaraan mengenai perlunya berdiri organisai pelajar Muhammadiyah banyak dilakukan oleh Pimpinan Pusat Pemuda Muham-madiyah dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Pada Muktamar Pemuda Muhammadiyah ke II yang berlangsung pada tanggal 24-28 Juli 1960 di Yogyakarta, yaitu dengan memutuskan untuk membentuk Ikatan Pelajar Muhammadiyah (Keputusan II/No. 4). Keputusan tersebut di antaranya ialah sebagai berikut :
1.    Muktamar Pemuda Muhammadiyah meminta kepa-da Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Pendi-dikan dan Pengajaran supaya memberi kesem-patan dan memnyerahkan kompetensi pemben-tukan IPM kepada PP Pemuda Muhammadiyah.
2.    Muktamar Pemuda Muhammadiyah mengama-natkan kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk menyusun konsepsi Ikatan Pelajar Muham-madiyah (IPM) dari pembahasan-pembahasan muktamar tersebut, dan untuk segera dilaksanakan setelah mencapai kesepakatan pendapat dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Pendi-dikan dan Pengajaran.
Kata sepakat akhirnya dapat tercapai antara Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Pendidikan dan Pengajaran tentang organisasi pelajar Muhammadiyah. Kesepakatan tersebut dicapai pada tanggal 15 Juni 1961 yang ditandatangani bersama antara Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Pendidikan dan Pengajaran. Rencana pendirian IPM tersebut dimatangkan lagi dalam Konferensi Pemuda Muhammadiyah di Surakarta tanggal 18-20 Juli 1961, dan secara nasional melalui forum tersebut IPM dapat berdiri tanggal 18 Juli 1961.
Dengan keputusan konferensi Pemuda Muham-madiyah di Garut tersebut akhirnya diperkuat ditetapkan sebagai hari kelahiran Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Perkembangan IPM akhirnya bisa memperluas jaringan sehingga bisa menjangkau seluruh sekolah-sekolah Muhammadiyah yang ada di Indonesia. Pimpinan IPM (tingkat ranting) didirikan di setiap sekolah Muhammadiyah. Berdirinya Pimpinan IPM di sekolah-sekolah Muhammadiyah ini akhirnya menimbulkan kontradiksi dengan kebijakan pemerintah Orde Baru dalam UU Keormasan, bahwa satu-satunya organisasi siswa di sekolah-sekolah yang ada di Indonesia hanyalah Organisasi Siswa Intra-Sekolah (OSIS). Sementara di sekolah-sekolah Muhammadiyah juga terdapat organisasi pelajar Muhammadiyah, yaitu IPM. Dengan demikian, ada dualisme organisasi pelajar di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Bahkan pada Konferensi Pimpinan Wilayah IPM tahun 1992 di Yogyakarta, Menteri Pemuda dan Olahraga saat itu (Akbar Tanjung) secara khusus dan implisit menyampaikan kebijakan pemerintah kepada IPM, agar IPM melakukan penye-suaian dengan kebijakan pemerintah.
Dalam situasi kontra-produktif tersebut, akhirnya Pimpinan Pusat IPM membentuk team eksistensi yang bertugas secara khusus menyelesaikan permasalahan ini. Setelah dilakukan pengkajian yang intensif, team eksistensi ini merekomendasikan perubahan nama dari Ikatan Pelajar Muhammadiyah ke Ikatan Remaja Muhammadiyah. Perubahan ini bisa jadi merupakan sebuah peristiwa yang tragis dalam sejarah organisasi, karena perubahannya mengandung unsur-unsur kooptasi dari pemerintah. Bahkan ada yang mengang-gap bahwa IPM tidak memiliki jiwa heroisme sebagai-mana yang dimiliki oleh PII yang tetap tidak mau menga-kui Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasinya.
Pada tanggal 24 Rabiul Akhir 1413 H / 22 Oktober 1992, IPM mengalami perubahan dan pengembangan fungsi, yang akhirnya ditetapkan berubah nama menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) dengan Surat Keputusan Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah Nomor VI/PP.IRM/1992 dan disahkan oleh Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 53/SK/IV.13/I.b/1992 tertanggal 22 Jumadil Awwal 1413 H yang bertepatan dengan 18 Nopember 1992 M. Perubahan tersebut lebih dikarenakan kebijakan (baca: tekanan) pemerintah yang menetapkan OSIS sebagai satu-satunya organisasi siswa/pelajar di sekolah. Hal ini berujung pada berubahnya beberapa organisasi pelajar yang memilih berganti nama atau membubarkan diri.
Pada tahun 1998 setelah runtuhnya orde baru, wacana untuk kembali ke IPM mulai berhembus khususnya dari kader-kader IPM di luar Jawa. Pembahasannya pun dimulai sejak tahun 1999 pada moment-moment Konferensi Pimpinan Wilayah IRM. Dan pada Muktamar IRM di Jakarta, pembahasan ini sempat diwarnai insiden antara kontingen Jawa Timur yang pro IRM dan kontingen Sulawesi Selatan yang pro IPM. Pembahasan untung rugi kembali ke IPM terus dilakukan. Sampai akhirnya diputuskan untuk kembali ke IPM pada tahun 2007
TAPAK SUCI PUTERA MUHAMMADIYAH
Tradisi pencak silat sudah berurat-berakar di kalangan masyarakat Indonesia sejak lama. Sebagaimana seni beladiri di negara-negara lain, pencak silat yang merupakan seni beladiri khas Indonesia memiliki ciri khas tersendiri yang dikembangkan untuk mewujudkan identitas. Demikian pula bahwa seni beladiri pencak silat di Indonesia juga beragam dan memiliki ciri khas masing-masing.
Tapak Suci sebagai salah satu varian seni beladiri pencak silat juga memiliki ciri khas yang bisa menunjukkan identitas yang kuat. Ciri khas tersebut dikembangkan melalui proses panjang dalam akar sejarah yang dilaluinya.
Berawal dari aliran pencak silat Banjaran di Pesantren Binorong Banjarnegara pada tahun 1872, aliran ini kemudian berkembang menjadi perguruan seni bela diri di Kauman Yogyakarta karena perpindahan guru (pendekarnya), yaitu KH. Busyro Syuhada, akibat gerakan perlawanan bersenjata yang dilakukannya sehingga ia menjadi sasaran penangkapan yang dilakukan rezim kolonial Belanda. Di Kauman inilah pendekar KH. Busyro Syuhada mendapatkan murid-murid yang tangguh dan sanggup mewarisi keahliannya dalam seni pencak silat. Perguruan seni pencak silat ini didirikan pada tahun 1925 dan diberi nama Perguruan Cikauman yang dipimpin langsung oleh Pendekar M.A Wahib dan Pendekar A. Dimyati, yaitu dua orang murid yang tangguh dari KH. Busyro Syuhada. Perguruan ini memiliki landasan agama dan kebangsaan yang kuat. Perguruan ini menegaskan seluruh pengikutnya untuk bebas dari syirik (menyekutukan Tuhan) dan mengab-dikan perguruan untuk perjuangan agama dan bangsa.
Perguruan Cikauman banyak melahirkan pendekar-pendekar muda yang akhirnya mengembangkan cabang perguruan untuk memperluas jangkauan yang lebih luas dengan nama Perguruan Seranoman pada tahun 1930. Perkembangan kedua perguruan ini semakin hari semakin pesat dengan pertambahan murid yang cukup banyak. Murid-murid dari perguruan ini kemudian banyak menjadi anggota Laskar Angkatan Perang Sabil (APS) untuk melawan penjajah, dan banyak yang gugur dalam perlawanan bersenjata.
Lahirnya pendekar-pendekar muda hasil didikan perguruan Cikauman dan Seranoman memungkinkan untuk mendirikan perguruan-perguruan baru, yang di antaranya ialah Perguruan Kasegu pada tahun 1951. Atas desakan murid-murid dari Perguruan Kasegu inilah inisiatif untuk menggabungkan semua perguruan silat yang sealiran dimulai. Pada tahun 1963, desakan itu semakin kuat, namun mendapatkan tentangan dari para ulama Kauman dan para pendekar tua yang merasa terlangkahi. Dengan pendekatan yang intensif dan dengan pertimbangan bahwa harus ada kekuatan fisik yang dimiliki ummat Islam menghadapi kekuatan komunis yang melakukan provokasi terhadap ummat Islam, maka gagasan untuk menyatukan kembali kekuatan-kekuatan perguruan yang terserak ke dalam satu kekuatan perguruan dimulai. Seluruh perangkat organisasional dipersiapkan, dan akhirnya disepakati untuk menggabungkan kembali kekuatan-kekuatan perguruan yang terserak ke dalam satu kekuatan perguruan, yaitu mendirikan Perguruan Tapak Suci pada tanggal 31 Juli 1960 yang merupakan keberlanjutan sejarah dari perguruan-perguruan sebelumnya.
Pada perkembangan selanjutnya, Perguruan Tapak Suci yang berkedudukan di Yogyakarta akhirnya berkembang di Yogyakarta dan daerah-daerah lainnya. Setelah meletusnya pemberontakan G30 S/PKI, pada tahun 1966 diselenggarakan Konferensi Nasional I Tapak Suci yang dihadiri oleh para utusan Perguruan Tapak Suci yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Pada saat itulah berhasil dirumuskan pemantapan organisasi secara nasional, dan Perguruan Tapak Suci dikembangkan lagi namanya menjadi Gerakan dan Lembaga Perguruan Seni Beladiri Indonesia Tapak Suci Putera Muhammadiyah. Dan pada Sidang Tanwir Muhammadiyah tahun 1967, Tapak Suci Putera Muhammadiyah ditetapkan menjadi organisasi otonom di lingkungan Muhammadiyah, karena Tapak Suci Putera Muhammadiyah juga mampu dijadikan wadah pengkaderan Muhammadiyah
IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah merupakan organisasi otonom Muhammadiyah yang bergerak dakwah amar ma’ruf nahi munkar di kalangan mahasiswa. Kelahiran IMM tidak lepas kaitannya dengan sejarah perjalanan Muhammadiyah, dan juga bisa dianggap sejalan dengan faktor kelahiran Muhammadiyah itu sendiri. Hal ini berarti bahwa setiap hal yang dilakukan Muhammadiyah merupakan perwujudan dari keinginan Muhammadiyah untuk memenuhi cita-cita sesuai dengan kehendak Muhammadiyah dilahirkan. Di samping itu, kelahiran IMM juga merupakan respond atas persoalan-persoalan keummatan dalam sejarah bangsa ini pada awal kelahiran IMM, sehingga kehadiran IMM sebenarnya merupakan sebuah keharusan sejarah. Faktor-faktor problematis dalam persoalan keummatan itu antara lain ialah sebagai berikut (Farid Fathoni, 1990: 102) :
1.    Situasi kehidupan bangsa yang tidak stabil, pemerintahan yang otoriter dan serba tunggal, serta adanya ancaman komunisme di Indonesia
2.    Terpecah-belahnya umat Islam dalam bentuk saling curiga dan fitnah, serta kehidupan politik ummat Islam yang semakin buruk
3.    Terbingkai-bingkainya kehidupan kampus (mahasiswa) yang berorientasi pada kepentingan politik praktis
4.    Melemahnya kehidupan beragama dalam bentuk merosotnya akhlak, dan semakin tumbuhnya materialisme-individualisme
5.    Sedikitnya pembinaan dan pendidikan agama dalam kampus, serta masih kuatnya suasana kehidupan kampus yang sekuler
6.    Masih membekasnya ketertindasan imperialisme penjajahan dalam bentuk keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan
7.    Masih banyaknya praktek-praktek kehidupan yang serba bid’ah, khurafat, bahkan ke-syirikan, serta semakin meningkatnya misionaris Kristenisasi
8.    Kehidupan ekonomi, sosial, dan politik yang semakin memburuk
Dengan latar belakang tersebut, sesungguhnya semangat untuk mewadahi dan membina mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah telah dimulai sejak lama. Semangat tersebut sebenarnya telah tumbuh dengan adanya keinginan untuk mendirikan perguruan tinggi Muhammadiyah pada Kongres Seperempat Abad Muhammadiyah di Betawi Jakarta pada tahun 1936. Pada saat itu, Pimpinan Pusat Muhammadiyah diketuai oleh KH. Hisyam (periode 1934-1937). Keinginan tersebut sangat logis dan realistis, karena keluarga besar Muhammadiyah semakin banyak dengan putera-puterinya yang sedang dalam penyelesaian pendidikan menengahnya. Di samping itu, Muhammadiyah juga sudah banyak memiliki amal usaha pendidikan tingkat menengah.
Gagasan pembinaan kader di lingkungan mahasiswa dalam bentuk penghimpunan dan pembinaan langsung adalah selaras dengan kehendak pendiri Muhammadiyah, KHA. Dahlan, yang berpesan bahwa ”dari kalian nanti akan ada yang jadi dokter, meester, insinyur, tetapi kembalilah kepada Muhammadiyah”(Suara Muhammadiyah, nomor 6 tahun ke-68, Maret II 1988, halaman 19). Dengan demikian, sejak awal Muhammadiyah sudah memikirkan bahwa kader-kader muda yang profesional harus memiliki dasar keislaman yang tangguh dengan kembali ke Muhammadiyah.
Namun demikian, gagasan untuk menghimpun dan membina mahasiswa di lingkungan Muhammadiyah cenderung terabaikan, lantaran Muhammadiyah sendiri belum memiliki perguruan tinggi. Belum mendesaknya pembentukan wadah kader di lingkungan mahasiswa Muhammadiyah saat itu juga karena saat itu jumlah mahasiswa yang ada di lingkungan Muhammadiyah belum terlalu banyak. Dengan demikian, pembinaan kader mahasiswa Muhammadiyah dilakukan melalui wadah Pemuda Muhammadiyah (1932) untuk mahasiswa putera dan melalui Nasyi’atul Aisyiyah (1931) untuk mahasiswa puteri.
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-31 pada tahun 1950 di Yogyakarta, dihembuskan kembali keinginan untuk mendirikan perguruan tinggi Muhammadiyah. Namun karena berbagai macam hal, keinginan tersebut belum bisa diwujudkan, sehingga gagasan untuk dapat secara langsung membina dan menghimpun para mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah tidak berhasil. Dengan demikian, keinginan untuk membentuk wadah bagi mahasiswa Muhammadiyah juga masih jauh dari kenyataan.
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-33 tahun 1956 di Palembang, gagasan pendirian perguruan tinggi Muhammadiyah baru bisa direalisasikan. Namun gagasan untuk mewadahi mahasiswa Muhammadiyah dalam satu himpunan belum bisa diwujudkan. Untuk mewadahi pembinaan terhadap mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah, maka Muhammadiyah membentuk Badan Pendidikan Kader (BPK) yang dalam menjalankan aktivitasnya bekerja sama dengan Pemuda Muhammadiyah.
Gagasan untuk mewadahi mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah dalam satu himpunan setidaknya telah menjadi polemik di lingkungan Muhammadiyah sejak lama. Perdebatan seputar kelahiran Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah berlangsung cukup sengit, baik di kalangan Muhammadiyah sendiri maupun di kalangan gerakan mahasiswa yang lain. Setidaknya, kelahiran IMM sebagai wadah bagi mahasiswa Muhammadiyah mendapatkan resistensi, baik dari kalangan Muhammadiyah sendiri maupun dari kalangan gerakan mahasiswa yang lain, terutama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Di kalangan Muhammadiyah sendiri pada awal munculnya gagasan pendirian IMM terdapat anggapan bahwa IMM belum dibutuhkan kehadirannya dalam Muhammadiyah, karena Pemuda Muhammadiyah dan Nasyi’atul Aisyiyah masih dianggap cukup mampu untuk mewadahi mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah.
Di samping itu, resistensi terhadap ide kelahiran IMM pada awalnya juga disebabkan adanya hubungan dekat yang tidak kentara antara Muhammadiyah dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Hubungan dekat itu dapat dilihat ketika Lafrane Pane mau menjajagi pendirian HMI. Dia bertukar pikiran dengan Prof. Abdul Kahar Mudzakir (tokoh Muhammadiyah), dan beliau setuju. Pendiri HMI yang lain ialah Maisarah Hilal (cucu KHA. Dahlan) yang juga seorang aktifis di Nasyi’atul Aisyiyah.
Bila asumsi itu benar adanya, maka hubungan dekat itu selanjutnya sangat mempengaruhi perjalanan IMM, karena dengan demikian Muhammadiyah saat itu beranggapan bahwa pembinaan dan pengkaderan mahasiswa Muhammadiyah bisa dititipkan melalui HMI (Farid Fathoni, 1990: 94). Pengaruh hubungan dekat tersebut sangat besar bagi kelahiran IMM. Hal ini bisa dilihat dari perdebatan tentang kelahiran IMM. Pimpinan Muhammadiyah di tingkat lokal seringkali menganggap bahwa kelahiran IMM saat itu tidak diperlukan, karena sudah terwadahi dalam Pemuda Muhammadiyah dan Nasyi’atul Aisyiyah, serta HMI yang sudah cukup eksis (dan mempunyai pandangan ideologis yang sama). Pimpinan Muhammadiyah pada saat itu lebih menganakemaskan HMI daripada IMM. Hal ini terlihat jelas dengan banyaknya pimpinan Muhammadiyah, baik secara pribadi maupun kelembagaan, yang memberikan dukungan pada aktivitas HMI. Di kalangan Pemuda Muhammadiyah juga terjadi perdebatan yang cukup sengit seputar kelahiran IMM. Perdebatan seputar kelahiran IMM tersebut cukup beralasan, karena sebagian pimpinan (baik di Muhammadiyah, Pemuda Muhammadiyah, Nasyi’atul Aisyiyah, serta amal-amal usaha Muhammadiyah) adalah kader-kader yang dibesarkan di HMI.
Setelah mengalami polemik yang cukup serius tentang gagasan untuk mendirikan IMM, maka pada tahun 1956 polemik tersebut mulai mengalami pengendapan. Tahun 1956 bisa disebut sebagai tahap awal bagi embrio operasional pendirian IMM dalam bentuk pemenuhan gagasan penghimpun wadah mahasiswa di lingkungan Muhammadiyah (Farid Fathoni, 1990: 98). Pertama, pada tahun itu (1956) Muham-madiyah secara formal membentuk kader terlembaga (yaitu BPK). Kedua, Muhammadiyah pada tahun itu telah bertekad untuk kembali pada identitasnya sebagai gerakan Islam dakwah amar ma’ruf nahi munkar (tiga tahun sesudahnya, 1959, dikukuhkan dengan melepas-kan diri dari komitmen politik dengan Masyumi, yang berarti bahwa Muhammadiyah tidak harus mengakui bahwa satu-satunya organisasi mahasiswa Islam di Indonesia adalah HMI). Ketiga, perguruan tinggi Muham-madiyah telah banyak didirikan. Keempat, keputusan Muktamar Muhammadiyah bersamaan Pemuda Muhammadiyah tahun 1956 di Palembang tentang ”….. menghimpun pelajar dan mahasiswa Muhammadiyah agar kelak menjadi pemuda Muhammadiyah atau warga Muhammadiyah yang mampu mengembangkan amanah.”
Baru pada tahun 1961 (menjelang Muktamar Muhammadiyah Setengah Abad di Jakarta) diseleng-garakan Kongres Mahasiswa Universitas Muhammadiyah di Yogyakarta (saat itu, Muhammadiyah sudah mempunyai perguruan tinggi Muhammadiyah sebelas buah yang tersebar di berbagai kota). Pada saat itulah, gagasan untuk mendirikan IMM digulirkan sekuat-kuatnya. Keinginan tersebut ternyata tidak hanya dari mahasiswa Universitas Muhammadiyah, tetapi juga dari kalangan mahasiswa di berbagai universitas non-Muhammadiyah. Keinginan kuat tersebut tercermin dari tindakan para tokoh Pemuda Muhammadiyah untuk melepaskan Departemen Kemahasiswaan di lingkungan Pemuda Muhammadiyah untuk berdiri sendiri. Oleh karena itu, lahirlah Lembaga Dakwah Muhammadiyah yang dikoordinasikan oleh Margono (UGM, Ir.), Sudibyo Markus (UGM, dr.), Rosyad Saleh (IAIN, Drs.), sedang-kan ide pembentukannya dari Djazman al-Kindi (UGM, Drs.).
Tahun 1963 dilakukan penjajagan untuk mendirikan wadah mahasiswa Muhammadiyah secara resmi oleh Lembaga Dakwah Muhammadiyah dengan disponsori oleh Djasman al-Kindi yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah. Dengan demikian, Lembaga Dakwah Muhammadiyah (yang banyak dimotori oleh para mahasiswa Yogyakarta) inilah yang menjadi embrio lahirnya IMM dengan terbentuknya IMM Lokal Yogyakarta.
Tiga bulan setelah penjajagan tersebut, Pimpinan Pusat Muhammadiyah meresmikan berdirinya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) pada tanggal 29 Syawal 1384 Hijriyah atau 14 Maret 1964 Miladiyah. Penandatanganan Piagam Pendirian Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dilakukan oleh Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat itu, yaitu KHA. Badawi. Resepsi peresmian IMM dilaksanakan di Gedung Dinoto Yogyakarta dengan penandatanganan ’Enam Pene-gasan IMM’oleh KHA. Badawi, yaitu :
1.    Menegaskan bahwa IMM adalah gerakan mahasiswa Islam
2.    Menegaskan bahwa Kepribadian Muhammadiyah adalah landasan perjuangan IMM
3.    Menegaskan bahwa fungsi IMM adalah eksponen mahasiswa dalam Muhammadiyah
4.    Menegaskan bahwa IMM adalah organisasi maha-siswa yang sah dengan mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah negara
5.    Menegaskan bahwa ilmu adalah amaliah dan amal adalah ilmiah
6.    Menegaskan bahwa amal IMM adalah lillahi ta’ala dan senantiasa diabdikan untuk kepentingan rakyat
Tujuan akhir kehadiran Ikatan Mahasiswa Muham-madiyah untuk pertama kalinya ialah membentuk akademisi Islam dalam rangka melaksanakan tujuan Muhammadiyah. Sedangkan aktifitas IMM pada awal kehadirannya yang paling menonjol ialah kegiatan keagamaan dan pengkaderan, sehingga seringkali IMM pada awal kelahirannya disebut sebagai Kelompok Pengajian Mahasiswa Yogya (Farid Fathoni, 1990: 102).
Adapun maksud didirikannya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah antara lain adalah sebagai berikut :
1.    Turut memelihara martabat dan membela kejayaan bangsa
2.    Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam
3.    Sebagai upaya menopang, melangsungkan, dan meneruskan cita-cita pendirian Muhammadiyah
4.    Sebagai pelopor, pelangsung, dan penyempurna amal usaha Muhammadiyah
5.    Membina, meningkatkan, dan memadukan iman dan ilmu serta amal dalam kehidupan bangsa, ummat, dan persyarikatan
Dengan berdirinya IMM Lokal Yogyakarta, maka berdiri pulalah IMM lokal di beberapa kota lain di Indonesia, seperti Bandung, Jember, Surakarta, Jakarta, Medan, Padang, Tuban, Sukabumi, Banjarmasin, dan lain-lain. Dengan demikian, mengingat semakin besarnya arus perkembangan IMM di hampir seluruh kota-kota universitas, maka dipandang perlu untuk meningkatkan IMM dari organisasi di tingkat lokal menjadi organisasi yang berskala nasional dan mempunyai struktur vertikal.
Atas prakarsa Pimpinan IMM Yogyakarta, maka bersamaan dengan Musyawarah IMM se-Daerah Yogyakarta pada tanggal 11 – 13 Desember 1964 diselenggarakan Musyawarah Nasional Pendahuluan IMM seluruh Indonesia yang dihadiri oleh hampir seluruh Pimpinan IMM Lokal dari berbagai kota. Musyawarah Nasional tersebut bertujuan untuk mempersiapkan kemungkinan diselenggarakannya Musyawarah Nasional Pertama Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah pada bulan April atau Mei 1965. Musyawarah Nasional Pendahuluan tersebut menyepakati penunjukan Pimpinan IMM Yogyakarta sebagai Dewan Pimpinan Pusat Sementara IMM (dengan Djazman al-Kindi sebagai Ketua dan Rosyad Saleh sebagai Sekretaris) sampai diselenggarakannya Musyawarah Nasional Pertama di Solo. Dalam Musyawarah Pendahuluan tersebut juga disahkan asas IMM yang tersusun dalam ‘Enam Penegasan IMM’, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga IMM, Gerak Arah IMM, serta berbagai konsep lainnya, termasuk lambang IMM, rancangan kerja, bentuk kegiatan, dan lain-lain.
Selain ortom-ortom yang telah kita kenal, masih ada lagi perkumpulan non ortom yang juga aktif sebagai gerakan di Muhammadiyah yaitu:
1.    Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM). Gerakan ini merupakan kumpulan dari ortom-ortom muda yang terdiri dari Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Gerakan ini biasanya dikoordinir oleh Ketua Pemuda Muhammadiyah yang sekaligus juga Ketua AMM.
2.    Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (KOKAM). Inilah tentaranya Muhammadiyah. KOKAM dibentuk dan dilatih oleh Pemuda Muhammadiyah, yang merupakan lembaga langsung dari Pemuda Muhammadiyah. Ketua Pemuda Muhammadiyah secara otoimatis menjabat sebagai Komandan KOKAM.
3.    FOKAL IMM. Akronim dari Forum Komunikasi Alumni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Merupakan asosiasi dari kader-kader mantan aktivis IMM. Perkumpulan ini biasanya bergerak untuk memberikan dukungan bagi pergerakan IMM, baik secara moral maupun material. Jaringan-jaringan yang dibentuk oleh anggota FOKAL IMM juga merupakan aset yang sangat berharga bagi IMM dan bagi Muhammadiyah.
sumber : http://fikirankita.co.cc/

0 komentar:

 

blogger templates | Make Money Online